"Demikian juga dalam hal ini hasil langsung terkirim ke KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai penyelenggara. Bawaslu sebagai pengawas mendapatkan log file-nya, itu dikirim satu log file dikirim ke Bawaslu," jelasnya.
Walaupun demikian, Andrari menjelaskan pada awalnya aplikasi e-Voting yang telah dikembangkan sejak 2010 ditargetkan untuk dilaksanakan pada pemilu, yakni Pilpres dan Pileg. Pengembangan tersebut, lanjut dia, diawali dengan pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Ketika kami mau mengembangkan itu melakukan uji materi dulu ke MK bahwa apakah coblos, contreng itu sama artinya dengan sentuh panel komputer. Itu yang kami lakukan, uji materi dulu diangkat karena kalau tidak, sia-sialah kami mewujudkan pemilu elektronik di Indonesia," ujarnya.
Menurut dia, MK kemudian mengeluarkan Putusan MK Nomor 147/PUU-VII/2009 yang mengatur coblos, contreng sama artinya dengan sentuh panel komputer, tetapi perlu disiapkan lima komponen.
Lima komponen itu, kata dia, adalah kesiapan teknologi, legalitas, penyelenggara, masyarakat, dan memenuhi asas luber jurdil.
"Diawali dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian saat ini pemilu Indonesia sudah bisa menggunakan e-Voting, tetapi baru di tingkat Pilkada. Untuk Pemilu Presiden dan Legislatif yang seharusnya sudah diakomodir di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 (tentang Pemilihan Umum) ini menjadi batal," katanya.
Dia menjelaskan pembatalan tersebut dikarenakan Panitia Khusus (Pansus) Pemilu setelah studi banding ke beberapa negara lain kemudian menghilangkan pasal-pasal yang mengakomodasi e-Voting dalam UU Pemilu.
"Pulang-pulang, Undang-Undang yang sudah mengakomodir e-Voting seperti halnya di pasal-pasal Undang-Undang Pilkada itu menjadi hilang semua," ujarnya.***