Sartono menitikkan air mata mengenang kengerian peristiwa itu dan menyaksikan mayat tak berdosa bergelimpangan dan memenuhi ruangan. Ada yang masih hidup, bahkan menjerit kesakitan. Ada pula yang masih bernapas tersengal-sengal dan meminta minum.
‘Saya selamat dari pembantaian itu karena duduk tepat di bawah jendela, sedangkan orang-orang FDR tersebut menembaki para tawanan dari atas jendela,’’ tegasnya Sambil enyebut tak sanggup mengingatnya
Rono Kromo warga desa setempat yang ikut mengevakuasi para korban mengatakan ketika dia memasuki ruangan, puluhan orang berserakan bersimbah darah, dia merasa tidak tahan melihat penderitaan orang-orang itu.
“Waktu saya masuk ruangan, kaki saya terasa... nyess saat menginjak darah di lantai,” ujar Rono Kromo
Banyaknya korban lanjut Rono Karno membuat pemakaman berlangsung cukup lama. Setidaknya membutuhkan waktu enam jam dari pukul 14.00 hingga pukul 20.00. Jasad korban pembantaian PKI 1948 itu dikebumikan secara masal.
‘’Ada satu lubang yang dibuat untuk mengubur sekaligus 19 orang. Yang paling banyak menjadi korban adalah para putra bhayangkara atau polisi,’’ ungkapnya
Pengalaman Rono Kromo ini menjadi catatan tak terlupakan hingga kini, mengingat banyak saksi hidup yang kini sudah tiada.
Kyai Zakariya (80), salah seorang sesepuh dari keluarga PSM Takeran, juga menceritakan tragedi Loji di Pabrik Gula Rejosari. Sambil mendekap bingkai foto Kyai Imam Mursyid Muttaqin dia mengisahkan jika tragedi ersebut begitu memilukan
‘’Genangan darah di loji itu setinggi mata kaki.” Ungkapnya sambil berkaca-kaca