Afrika Kerja Keras, Agar Tak Jadi Tempat Pembuangan Sampah Plastik Dunia:Sampah Penuh Bau dan Partikel Beracun

- 27 Februari 2022, 14:15 WIB
Ilustrasi sampah. /Misi Afrika agar tak menjadi tempat pembuangan sampah plasti dunia
Ilustrasi sampah. /Misi Afrika agar tak menjadi tempat pembuangan sampah plasti dunia /Pixabay/RitaE/

 

PortalMagetan.com - Afrika menghadapi pekerjaan berat untuk tidak menjadi tempat pembuangan sampah plastik dunia.

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah Afrika menjadi negara dengan sampah plastik terbesar di dunia? Itulah salah satu pertanyaan besar yang dihadapi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu depan pada inventarisasi kesengsaraan lingkungan Bumi.


Dilansir PortalMagetan.com dari laman AFP pada 27 Februari 2022, bahwa dari Antananarivo ke Dakar melalui Nairobi dan Conakry, kota-kota Afrika telah dirusak dengan sampah plastik yang jumlahnya mencapai ribuan ton.

Tempat pembuangan sampah berbau dan berbahaya. Pun mengeluarkan asap dan partikel beracun.


Mirisnya, beberapa tempat pembuangan sampah di tiap suduh kota di Afrika itu justru dijadikan tempat dimana pria, wanita, dan anak-anak dari golongan miskin mencari sisa-sisa makanan untuk bertahan hidup.


Sampah-sampah yang tertiup angin atau terbawa arus sungai, dikhawatirkan akan mencemari laut, hutan dan ladang. Tak hanya itu, sampah2 itu juga mengancam satwa liar bahkan manusia karena partikel mikroskopis memasuki rantai makanan.


"Sampah plastik adalah pembunuh yang paling nyata," kata Hama Abdoulaye, seorang gembala yang tinggal di dekat Niamey, ibu kota negara bagian Sahel, Niger.


"Hewan menelan plastik ketika mereka merumput di rumput, dan mati perlahan." Imbuhnya.


The UN Environment Programme (UNEP), yang menjadi tuan rumah pembukaan Majelis Lingkungan PBB selama tiga hari di Nairobi pada hari Senin, menyebut polusi sampah plastik di Afrika semakin cepat, sebagian didorong oleh pengumpulan sampah yang buruk dan kurangnya fasilitas daur ulang.


Masalah tersebut menimbulkan "ancaman signifikan bagi lingkungan dan ekonomi benua," disebutkan dalam sebuah laporan baru-baru ini.

Sekitar 300 juta ton sampah plastik, berat yang setara dengan populasi manusia di planet ini, diproduksi setiap tahun. Tetapi secara global kurang dari 10 persen yang didaur ulang.


"Jika tidak ada yang dilakukan dalam beberapa tahun, Afrika akan menjadi tempat sampah kantong plastik dan sampah," kata Ousmane Danbadji, kepala LSM yang disebut Jaringan Niger untuk Air dan Sanitasi (the Niger Network for Water and Sanitation).


Pada tahun 2018, China memutuskan untuk melarang impor sampah plastik, sebuah langkah yang diikuti oleh negara-negara Asia lainnya seperti Filipina dan Malaysia.


Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran akan efek lanjutan, bahwa peradaban ekonomi akan semakin beralih ke Afrika untuk membuang sampah plastik mereka.

Afrika sudah lama menjadi tujuan produk dan bahan berbahaya lainnya seperti baterai atau komponen listrik dan elektronik bekas, khususnya Ghana dan Nigeria.


"Ada risiko besar melihat semua limbah dari negara-negara industri dibuang di sini di Afrika," kata Yves Ikobo, kepala organisasi akar rumput (a grassroots organisation) di DR Kongo yang disebut Planete Verte RDC.


Di Nairobi, negara-negara Afrika akan mencoba untuk menyatukan misi dalam rangka melarang impor sampah plastik ke benua itu, dengan maksud untuk membicarakan kesepakatan internasional melawan polusi plastik.


Sejak awal tahun 2000-an, sebagian besar negara bagian Afrika sub-Sahara secara bertahap mengadopsi undang-undang yang melarang produksi, impor, pemasaran, penggunaan dan penyimpanan kantong plastik dan kemasan.

Tetapi nyatanya undang-undang tersebut tetap dilanggar. Dalam sebuah surat yan diterima AFP, Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat /(the Economic Community of West African States (ECOWAS) mengatakan sedang "menyelesaikan rancangan peraturan" tentang harmonisasi aturan nasional di antara 15 anggotanya.

Namun, negara-negara anggota "belum menyepakati tentang tenggat waktu untuk impor plastik.


"Ada kurangnya komitmen dari banyak negara di Afrika," kata John Gakawavu, kepala LSM konservasi lingkungan Rwanda.


Danbadji, dari Niger Network menambahkan, tak bisa bernuat banyak terkait hal itu. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa melawan proliferasi (sampah plastik) karena politisi tidak benar-benar berkomitmen untuk melawan," katanya.


Hal ini juga terkait dengan dampak ekonomi dan sosial dari sektor plastik, yang merupakan pemberi lapangan kerja yang tinggi di beberapa negara.


"Saya tidak berpikir negara-negara Afrika akan mengambil posisi yang sama persis" di Nairobi, kata Nhlanhla Sibisi dari Greenpeace Afrika, yang berbasis di Johannesburg.


Afrika Selatan adalah contohnya. Sekitar 65.000 orang dipekerjakan dalam bisnis bahan sintetis di ekonomi terbesar di benua itu.

Suatu nilai tambah yang besar di negara itu, di mana 65 persen anak mudanya menganggur. Sektor ini merupakan penyumbang pajak utama.


Menteri Lingkungan Afrika Selatan, Barbara Creecy baru-baru ini memperingatkan bahwa setiap perjanjian internasional harus mempertimbangkan "tanggung jawab yang berbeda dan kemampuan masing-masing."


Rumusan ini secara rutin terdengar di konferensi iklim (UN climate conferences) PBB, ketika negara-negara berkembang mengatakan bahwa mereka seharusnya tidak diminta untuk memikul beban yang sama dengan negara-negara kaya.

Namun ada suara lain yang mengatakan bahwa mengimpor sampah plastik diperbolehkan, asalkan syaratnya terpenuhi.


Richard Kainika, sekretaris jenderal Asosiasi Pendaur Ulang Sampah Kenya, mengatakan dia "tidak masalah" selama sampah itu "dipilah dengan baik dan diklasifikasikan."


“Daur ulang mendukung penciptaan lapangan kerja dan juga melestarikan lingkungan,” katanya.


Sementara itu, pekerjaan "pasukan kuning" sesuatu yang sudah lama tidak ada di Afrika. Kendati demikian, di beberapa lokasi, warga yang bekerja untuk mengambil plastik di jalan-jalan dan di pantai, dan beberapa proyek daur ulang sudah mulai bergeliat.


Bintang terkenal seperti Libreville dan Abidjan berkolaborasi dengan UNESCO dan perusahaan Kolombia, sebuah pabrik untuk mendaur ulang plastik menjadi batu bata dibuka pada tahun 2020 dengan tujuan untuk membangun ratusan sekolah di Pantai Gading.


Tindakan ini sebagai langkah awal untuk memotivasi semua pihak agar tersadar betapa seriusnya masalah sampah plastik ini. Sehingga akan menggerakkan pemerintah untuk segera bertindak.***

Editor: Dyah Mellyda Permatasari

Sumber: AFP


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x