Berikutnya, kita akan memasuki syukur dengan lisan, yaitu apresiasi dalam bentuk ucapan (pujian). Bisa dengan tahmîd, tasbîh, tahlîl dan lain sebagainya.
Syukur Lisan dan Hati
Bersyukur dengan lisan berkaitan erat dengan bersyukur dengan hati. Alasannya, setelah melakukan proses visualisasi nikmat, kita pasti tersadar bahwa pujian setinggi dan sebesar apapun tidak akan menyetarai segala nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita.
Selain, kemampuan kita bersyukur juga berasal dari-Nya. Nabi Dawud ‘alaihissalam ketika mendengar firman Allah (QS. Saba’: 13): “Bekerjalah, wahai keluarga Daud, untuk bersyukur”.
“Wahai Tuhan, bagaimana aku bersyukur kepada-Mu, padahal syukur adalah nikmat (pemberian)-Mu (juga)?” Allah berfirman: “Sekarang kau telah bersyukur kepada-Ku, karena kau telah tahu bahwa nikmat itu berasal dari-Ku” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kairo: al-Faruq al-Haditshah li al-Thiba’aj wa al-Nasyr, 2000, juz 11, h. 267).
Perasaan “tahu” atas ketidakmampuan mensyukuri seluruh nikmat Allah SWT sangat penting dimiliki manusia.
Karena dapat mendorong keistiqamahan dalam bersyukur. Orang yang mengetahui dan menyadari hal ini akan malu jika berhenti, atau akan terus berusaha untuk terhindar dari kelalaian bersyukur kepada-Nya.
Karena ia tahu, seberapa sering dan banyak syukurnya, tidak mungkin menyetarai nikmat yang diterimanya.