Saat muslim berpuasa, apresiasi kita terhadap hal-hal yang sering kita abaikan meningkat, seperti terhadap air putih dan nasi misalnya.
Kita yang biasanya melihat itu “sepintas lalu” menjadi sangat berharga. Artinya, makanan dan minuman kembali pada nilai asalnya yang berharga.
Melatih Rasa Syukur
Karena itu, puasa harus dijadikan titik ulang untuk menyemai kembali rasa syukur kita akan segala sesuatu.
Yakni, diawali dengan kebutuhan pokok (makanan dan minuman), kemudian berlanjut ke pelbagai hal. Tapi sebelum itu, kita harus memahami terlebih dahulu, apa itu “syukur”.
Dalam kitab Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi (w. 817 H) membagi syukur dalam tiga kategori.
“Syukur terdiri dari tiga tipe:
(1) syukur dengan hati, yaitu pembayangan (atau penggambaran) nikmat (dalam hati).
(2) syukur dengan lisan, yaitu pujian kepada pemberi nikmat.
(3) syukur dengan anggota tubuh lainnya, yaitu membalas kenikmatan dengan kadar (atau derajat) yang pantas (didapatkan tubuh)”
(Imam Majduddin Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi, Bashâ’ir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâif al-Kitâb al-‘Azîz, Kairo: al-Majlis al-A’la li Syu’un al-Islamiyyah, 1996, juz 3, h. 334).