Pertama, al-khawf minal Jalīl (rasa takut kepada Allah Yang Maha Agung). Orang bertaqwa semestinya merasa selalu diawasi, kapan pun dan dimanapun.
Juga mengakui bahwa selain Allah swt adalah kecil. Jika kita merasa takut pada hal-hal kecil, seperti bencana alam dan lainnya, maka selayaknya kita lebih takut kepada Dzat yang mengatur itu semua; Allah swt.
Indikator ini menunjukkan bahwa puasa menghendaki peningkatan keimanan, khususnya prinsip Tauhid.
Kedua, al-‘Amal bi-t-tanzīl (beramal sesuai tuntunan Syari’ah). Disebut bertaqwa jika seseorang itu menjalankan apa yang menjadi perintah Allah swt, dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Puasa inilah latihan utama dalam menerapkannya.
Ustadz Dr. Syamsuddin Arif menyebut, hal ini sesuai dengan fungsi pertama dari puasa; fungsi konfirmatif.
“Jangan mengaku orang Islam dan beriman kalau tidak puasa pada bulan suci Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan. Berpuasa merupakan bukti pengukuh keislaman dan keimanan Anda”, begitu Dr. Syam menjelaskan maksudnya.
Ketiga, ar-Ridhā bil qalīl (ridha dengan yang sedikit). Jiwa manusia menghendaki yang banyak, obsesi tinggi, namun seringkali tidak dibarengi dengan ridha atas ketetapan Allah swt.
Dengan puasa, kita diajarkan untuk menerima walaupun sedikit, bersyukur dengan apa yang didapat, serta berkeyakinan penuh bahwa Allah swt telah menciptakan segala sesuai dengan kadarnya.
Ustadz Setiawan juga mengingatkan, untuk melatihnya, hendaknya kita selalu melihat ke bawah untuk hal-ihwal duniawi, dan melihat ke atas untuk perkara ukhrawi.